Thursday, November 17

Ketika aku kembali, masih adakah tempat yang tersisa lagi?

Sebenarnya Aku malu, setelah sekian lama Aku tidak menyapa, lalu tetiba Aku datang seperti orang ingin menagih utang, tidak punya dosa. Tapi Aku lebih merasa berdosa lagi jika tidak bertemu Dia. Bagaimanapun Aku sudah berulang kali mengecewakannya, namun tiap kali Aku datang, Dia selalu senang. Itu yang membuatku lagi-lagi berani menggerakan kaki....

"Hai..", sapaku membuka pembicaraan.
Dia diam, sambil melihatku tenang, seperti Dia memang sudah tahu untuk apa tujuanku datang.

"Aku kesini untuk... Aku ini.." Kata-kata yang sudah ku rangkai di perjalanan tiba-tiba tenggelam dalam ketenangannya yang begitu tenang. Dan inilah alasan lain mengapa aku selalu kembali, aku merasa nyaman.

"Aku minta maaf.. maksudnya, aku mohon maaf.. selama ini sempat melupakan Mu" Pelan-pelan aku kembali menemukan kata-kata yang tadi sempat hilang.

"Aku.. Dadaku sesak.. terlalu banyak yang datang ke sini, kemudian turun kemari.."
Sambil menunjuk kepalaku kemudian dadaku.

"Aku.. aku fikir aku bisa sendiri, aku fikir aku mampu tanpa bantuan Mu, aku.. aku.."
Air mataku pecah, dadaku semakin sesak, sambil mengatur kembali intonasi dengan segala kemampuan yang ku miliki, aku mulai lagi berbicara.

"Aku,.. seperti yang Kau tahu sempat pernah tinggal lama dalam sebuah ketidakpastian, keterpurukan. 
Aku pernah hidup dengan sisa-sisa harapan keajaiban. 
Aku pernah hanya berjalan tanpa melihat apa yang aku temukan dalam perjalanan, dan hanya terus berjalan. 
Dan dengan selalu.. Maaf.. mengingat Mu waktu itu. 
Iya, sekali lagi maaf..
Aku mengingatmu, hanya mengingatmu ketika aku payah.
Tidak tahu lagi siapa yang ingin aku datangi..
Tapi tolong jangan salahkan Aku, Engkau memiliki ketenangan itu, yang aku tidak dapat temui selain disini. 
Di dekat Mu.." 
Alih-alih marah Dia malah tersenyum.

"Bolehkah Aku memelukMu?"
Kemudian Dia menghampiri, seketika ribuan pecahan kaca yang berdesakan memenuhi setiap sisi rongga hati lenyap, nyaris aku seperti tidak punya kepala, badanku sangat ringan, hampir-hampir terbang. Airmata ku kini seperti tidak punya aturan, aku sudah tidak peduli lagi, biarkan mereka menari kesana-kemari, aku tidak peduli. Dan ini adalah perasaan yang aku sendiri tidak mengerti.

"Maaf jika aku lancang, apa jadinya jika aku tidak dilahirkan? 
Dunia, kenyataan, cobaan, kebahagiaan, kesedihan.. aku tidak bisa berteman dengan mereka. 
Apa aku, kami, kita, hidup memang hanya untuk dipermainkan oleh pilihan-pilihan yang tidak sedikit hanya berujung penyesalan? 
Aku tidak mengerti mengapa manusia hidup dalam kesia-siaan, dan mati dalam penyesalan. Sebagian lainnya tidak pernah peduli kalaupun besok akan mati, mereka hanya tertawa dan bahagia seakan-akan dunia ini selamanya." 
Kini kulihat wajahnya tidak seramah tadi,  tidak juga murka, hanya saja tidak tersenyum seperti tadi. Aku mengerti Dia sangat tidak menyukai ini, serta merta aku kembali menarik kata-kataku lagi.

"Maaf.. iya maaf, memang mereka bukan urusanku.. aku tidak patut menilai siapapun, mohon maafkan.."
Terdiam lama. Sangat lama.. dan aku kembali mengutarakan kata yang masih tersisa..

"Ini,  Aku sangat mencintaiMu, Tidak ada yang mampu membahasakan bagaimana cintaKu kepadaMu.. mungkin Kau lebih mengetahui itu.. Aku ingin selalu bersamaMu, Aku tidak ingin siapapun kecuali Kau.. "

***

"knock..knock.. Putri..??" dari balik pintu, itu suara ibu.
"Iya bu..?" sahutku sambil membersihkan wajah yang basah dengan selimut seadanya.
"Kamu, bicara dengan siapa sayang?"
"Enggak bu, Aku.. hm Aku.. anu.." aku buntu, keberadaan Ibu yang tiba-tiba membuatku mati gaya.
"Aku.. aku hanya sedang berdoa, Bu" yah mungkin ini sangat membantu, aku fikir tidak ada yang aneh dengan jawabanku.
"Aku bicara dengan Tuhan tadi bu.." kataku melengkapi, yang ini keluar dari hati.
Ibu tersenyum, dan kami berdua tersenyum, dalam hati aku berbisik  
"Diantara kenyataan yang memuakan, dia adalah kenyataan paling indah yang aku dapatkan. Tuhan, aku lupa mengucapkan terima kasih Engkau telah ciptakan wanita ini."

***

Selesai.

3 comments: