Di danau itu, aku bersihkan telapak kaki-ku yang berlumur darah, yang keluar dari kulit tipis, yang sempat terseret di setapak jalan tadi yang biasa ku lalui..
Seksama dan hati-hati aku cabut beling kecil yang bermain-main diantara ibu jari dan telunjuk kaki, sesekali kutemui juga mereka di tumit dan mata kaki..
Pohon-pohon tua disekelilingku sejenak menatap iba, seperti hari-hari sebelumnya, aku tersenyum, mereka kembali bercanda dan berlalu..
Kamu tau? Aku tidak peduli, sekalipun kaki-kaki ini Tuhan ciptakan, memang ditakdirkan berjalan, di atas pecahan kaca-kaca kerinduan..
Sayang, Aku tidak pernah mengeluhkan, rasa sakit yang tertahan di ujung-ujung bibir, tidak juga pernah menghitung, berapa bongkahan air mata yang mengkristal, menahan jerit kesakitan ketika ranting pohon bersekutu angin, menghujaniku sepi dan kebencian..
Sayang, Aku benar-benar tidak peduli..
Lalu datang waktu,
Aku dan Kamu berdansa, bercumbu mesra, ditengah mereka yang menatap iri kita.
Wajah kesal mereka, ketika bibirmu bersimpuh di wajahku, ketika bola mataku dijamahi dengan pandangan cintaMu, kita benar-benar bertemu, di otak-Ku.
Satu pintaku, Jangan pernah perintah Aku berhenti, merindukan Kamu...
Aku,
yang hampir mati dibunuh rindu
***